Ekoteologi: Menyatukan Iman dan Lingkungan
Oleh : Gusti Randa, S.Pd Guru Ahli Pertama Penjasorkes MIN 2 Belitung

Ekoteologi: Menyatukan Iman dan Lingkungan

Permasalahan lingkungan hidup kini menjadi isu yang semakin relevan, mencerminkan meningkatnya kesadaran akan pentingnya alam bagi kelangsungan hidup manusia. Namun sayangnya, meski diskusi mengenai krisis lingkungan kerap muncul di berbagai forum, tindakan nyata untuk mengatasi kerusakan lingkungan belum sepenuhnya terlihat, sehingga degradasi ekosistem terus berlangsung.

Menurut rilis resmi dari Kementerian Kehutanan, pemantauan tahunan terhadap kondisi hutan Indonesia mencakup sekitar 187 juta hektare wilayah daratan, baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan tersebut.

Hasil pemantauan menunjukkan bahwa pada tahun 2024, luas area berhutan di Indonesia mencapai 95,5 juta hektare atau sekitar 51,1% dari total daratan. Dari jumlah tersebut, 91,9% atau sekitar 87,8 juta hektare berada dalam wilayah yang dikategorikan sebagai kawasan hutan.

Data tersebut juga mencatat bahwa angka deforestasi neto tahun 2024 mencapai 175,4 ribu hektare. Angka ini merupakan selisih antara deforestasi bruto sebesar 216,2 ribu hektare dan hasil reforestasi sebesar 40,8 ribu hektare. Angka ini mengindikasikan bahwa tantangan dalam menjaga kelestarian hutan Indonesia masih sangat besar, bahkan ketika upaya reforestasi dilakukan.

Di tengah ancaman ekologis global seperti pemanasan global, kerusakan hutan, berkurangnya keanekaragaman hayati, serta pencemaran udara dan laut, muncul pendekatan spiritual yang mengaitkan keimanan dengan tanggung jawab ekologis: ekoteologi. Gagasan ini digaungkan oleh Menteri Agama Prof. Dr. Nasaruddin Umar melalui program prioritas nasional, Asta Protas.

Ekoteologi Pemikiran Progresif Menteri Agama RI

Ekoteologi semakin dikenal luas berkat pemikiran progresif Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar. Dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 244 Tahun 2025, ekoteologi resmi dijadikan sebagai program unggulan Kementerian Agama periode 2025–2029.

Dalam berbagai forum, beliau menekankan bahwa alam bukanlah sekadar objek untuk dimanfaatkan, melainkan merupakan ciptaan Tuhan yang perlu dijaga. Salah satu implementasi konkret dari pemikiran tersebut adalah gerakan penghijauan yang melibatkan institusi keagamaan, pesantren, tokoh agama, dan masyarakat umum.

Lebih dari sekadar disiplin akademis, ekoteologi adalah ajakan moral dan spiritual untuk merombak pandangan manusia terhadap alam. Bidang ini membahas keterkaitan antara ajaran agama dan perlindungan lingkungan hidup, serta bagaimana nilai-nilai spiritual bisa menjadi landasan dalam menjaga bumi. 

Secara esensial, ekoteologi memadukan wawasan keimanan dengan kepedulian ekologis. Dalam ajaran Islam, konsep khalifah (pemimpin atau wakil Tuhan di bumi) memberikan tanggung jawab besar bagi manusia untuk memelihara bumi. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa kerusakan di darat dan laut adalah akibat dari perbuatan manusia (QS. Ar-Rum: 41), yang menjadi dasar bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah dan pengamalan keimanan.

Ekoteologi juga menawarkan refleksi kritis terhadap struktur sosial dan ekonomi global yang eksploitatif terhadap lingkungan. Ia mengungkap bagaimana sistem kapitalisme yang serakah, budaya konsumtif, dan modernisasi yang tak ramah lingkungan telah menjauhkan manusia dari harmoni dengan alam. Sebagai bentuk solusinya, ekoteologi mendorong gerakan konkret seperti ibadah ramah lingkungan, pertanian organik yang dikelola komunitas keagamaan, penggunaan energi terbarukan di rumah ibadah, serta pengintegrasian pendidikan lingkungan dalam kurikulum agama.

Pada intinya, ekoteologi mengajak manusia untuk tidak hanya mencintai Tuhan dan sesama manusia, tetapi juga seluruh makhluk ciptaan-Nya. Dalam masa krisis ekologi seperti sekarang, spiritualitas tidak cukup hanya berada dalam ranah pribadi, namun harus diwujudkan dalam sikap dan tindakan nyata terhadap alam semesta.

Dengan menyelaraskan nilai-nilai iman dan kesadaran ekologis, ekoteologi menghadirkan harapan baru: bahwa perubahan bukan hanya ditentukan oleh kemajuan teknologi, tetapi juga oleh pertobatan ekologis dan kesadaran kolektif umat beriman. Islam mengenalkan Allah sebagai Ar-Rahman dan Ar-Rahim—yang Maha Pengasih dan Penyayang, kasih sayang yang mencakup seluruh semesta (rahmatan lil ‘alamin). Maka, kepedulian terhadap alam adalah pengejawantahan langsung dari sifat kasih sayang ilahi yang harus tercermin dalam kehidupan manusia.

Sejalan dengan itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan kepada seluruh warga negara untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Undang-undang ini mencerminkan tanggung jawab negara dan masyarakat dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem demi keberlangsungan seluruh makhluk hidup.

UU ini menggarisbawahi bahwa setiap individu memiliki hak atas lingkungan yang sehat, sekaligus kewajiban untuk turut serta dalam melestarikannya. Bentuk kontribusi tersebut bisa dimulai dari tindakan-tindakan sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya, menggunakan energi secara efisien, hingga keterlibatan dalam program pelestarian lingkungan yang lebih luas.

Lebih jauh, partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan yang berdampak pada lingkungan juga menjadi aspek penting dalam UU ini. Masyarakat diajak untuk lebih sadar dan kritis terhadap setiap kebijakan atau aktivitas yang dapat merusak alam, baik oleh individu, korporasi, maupun pemerintah.

UU ini menegaskan bahwa kelestarian lingkungan merupakan tanggung jawab kolektif. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan dari masyarakat. 

Oleh sebab itu, kesadaran ekologis perlu dibangun di semua lapisan masyarakat agar keberlangsungan hidup di bumi tetap terjaga.

Dalam perspektif moderasi beragama, menjaga lingkungan merupakan bagian integral dari keimanan. Ajaran agama yang moderat mendorong manusia untuk hidup harmonis dengan alam, menumbuhkan rasa kasih terhadap sesama makhluk, dan memelihara bumi sebagai amanah dari Tuhan.

Ekoteologi memperkuat nilai-nilai ini dengan mengajak manusia memahami relasi spiritual antara Tuhan, manusia, dan alam.

Melalui ekoteologi, manusia diingatkan untuk tidak lagi memandang alam sebagai objek yang bisa dieksploitasi, melainkan sebagai mitra dalam kehidupan. Kepedulian terhadap lingkungan menjadi bentuk nyata cinta kepada Tuhan dan sesama. Karena pada hakikatnya, menjaga alam adalah menjaga kehidupan kita sendiri.

Ekoteologi Jadi Program Unggulan Kementerian Agama

Kementerian Agama Program Asta Protas yang digagas oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar melalui pendekatan ekoteologi bukan hanya sebagai teori, tetapi telah diwujudkan dalam bentuk nyata melalui pendidikan, gerakan sosial-keagamaan, dan pembaruan cara pandang keagamaan terhadap lingkungan. Program ini berdampak luas, tidak hanya bagi kehidupan keagamaan dan sosial, tetapi juga menjadikan isu lingkungan sebagai fokus utama yang bertujuan memberikan manfaat riil bagi masyarakat dan keberlanjutan alam.

Ekoteologi merupakan bentuk konkret dari komitmen Kementerian Agama dalam menjaga kelestarian lingkungan. Program penguatan nilai-nilai ekoteologi dijadikan salah satu agenda utama dalam inisiatif 'Kemenag Berdampak'. Melalui program ini, Kementerian Agama menetapkan delapan program prioritas yang dirancang untuk membawa manfaat nyata bagi masyarakat luas. 

Seperti diketahui, Kementerian Agama (Kemenag) menggagas gerakan penanaman satu juta pohon, dengan pohon matoa melambangkan simbol ketangguhan, kekuatan, dan harapan. Selain itu, pohon berasal dari tanah Papua ini memiliki nilai ekonomis tinggi karena memiliki rasa unik perpaduan antara lengkeng dan rambutan dengan aroma seperti durian. 

Tentu melalui program Inisiatif dapat menumbuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup serta menerapkan prinsip-prinsip ekoteologi yang sejalan dengan ajaran keagamaan. Karena dengan menanam satu pohon artinya menanam harapan untuk masa depan, sekaligus wujud cinta kepada Tuhan, manusia, dan alam. 

Referensi:

Al-Qur'an Surah Ar-Rum: 41 – “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…”

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

https://kehutanan.go.id/news/article-10




Social media Share this article
Write a Facebook Comment

Komentar dari Facebook

View all comments

Write a comment